Aku tiada pernah mengira akan terlahir dari rahim seorang wanita sederhana yang bersahaja. Wanita yang pendidikannya hanya sebatas bangku sekolah dasar dan berjuang memenuhi segala kebutuhannya secara mandiri. Waktu kecil aku berfikir kenapa aku tidak lahir di keluarga yang serba berkecukupan, terpenuhi segala inginku tanpa harus menangis terlebih dahulu? Mengapa aku harus terlahir dari wanita yang kerap kali mendoktrinku agar selalu membagi satu bungkus mie instan untuk dua kali makan? Mengapa aku selalu disuruh berhemat ini dan itu, sedang teman-temanku bisa menghabiskan sesuka kemauannya? Mengapa mereka beruntung bisa les ini dan itu, sedang aku sama sekali tak pernah merasakannya?
Aku tersenyum kala ingat pikiran dangkal itu. Dan semua itu salah. Nyatanya aku terlalu beruntung untuk mendapatkan malaikat itu. Malaikat yang hanya bergelar ibu yang senantiasa merelakan jatah jajan arisannya untuk dibawa pulang agar anaknya turut menikmati. Ibu yang cukup makan nasi dan sambal sedang ikanpun diberikan sang anak. Hingga di sepertiga malamnya tak henti menunaikan shalat malam berharap anak-anaknya menjadi insan bermartabat yang bisa menjadi tabungan amalnya kelak di akhirat.
Ibu, bagaimana engkau rela mendinginkan tubuhmu pukul satu dini hari untuk membuat susu kedelai yang paginya kau jual keliling desa dengan mengayuh sepeda butut itu? Engkau bersyukur meski laba tak seberapa, namun kau tiada berputus asa. Hari demi hari kau tekuni demi secerca nafkah untuk anakmu. Dan sampailah pada titik lelahmu engkau pun beralih bekerja di pasar tradisional. Bu, bukankah melelahkan bangun pukul 3 dini hari untuk berangkat ke tempat itu? Dengan jarak berpuluh kilometer dari rumah kau tetap mencabik sunyinya pagi, sedang anak dan bahkan tetanggamu detik itu masih pulas di balik selimutnya. Bodohnya aku bahkan merasa itu adalah hal yang wajar karena engkau ibu yang harus memenuhi kebutuhanku. Dan ternyata aku salah. Aku begitu naif untuk berleha-leha membiarkanmu berjuang sekeras itu. Bu, coba ajarkan aku bagaimana menjadi wanita hebat dalam melakukan segala pekerjaan rumah sedang saat kau suruh aku untuk membeli bawang saja aku mengeluh tiada kira.
Aku tiada pandai merangkai kata untuk mengukir dan mengingat semua kenangan bersamamu, Bu. Karena mereka terlalu banyak dan acap kali membuatku tersedu kala mengingat segala perjuanganmu. Engkau pernah bercerita, di saat aku mulai merangkak aku menumpahkan satu panci sayur sop buatanmu. Akupun dengan lucunya memakan isi sayur yang tumpah dengan lahapnya. Kau pun tak memarahiku meski jika ku ingat itu pasti merupakan hal yang membuatmu repot karena harus memasak ulang dan bahkan membersihkan sisanya. Bahkan, saat aku sudah mulai bisa berbicara dengan lugunya aku memanggil setiap bapak-bapak pedagang. Padahal, saat itu engkau tidak punya uang sedikitpun. Hingga, suatu hari engkau pernah menangis nelangsa karena di usia itu aku merengek minta dibelikan gelang hingga ayahpun rela tiada pulang dua hari hanya untuk menaruh gelang emas di pergelangan tangan kecilku. Lalu bagaimana aku nanti, Bu? sanggupkah aku menjadi wanita kuat sepertimu?
Ibu, kini tenagamu tak lagi sama seperti dulu. Cantikmu terganti dengan kerut keriput usia yang menjadi saksi bisu perjuangmu. Namun, hatimu tetap berseru bahwa aku anakmu meski kadang aku mengabaikanmu. Bibirmu tiada henti melantunkan doa kepada Sang Pencipta agar aku memiliki pendidikan yang lebih daripadamu, berprestasi, dan dapat mengangkat derajatmu. Doamu adalah ridho semesta yang tanpanya aku bukanlah apa-apa.
Jika aku tiada bisa menyentuh hati orang lain karena bodohnya aku dalam menuangkan tulisan tentangmu, maafkan aku Bu. Karena aku tahu, perasaan itu milikku. Dan hanya aku yang bisa menangis tersedu mengingat sedikit dari banyaknya kisah yang ku tulis. Semoga kasih sayang dan cinta membuatmu mencium bau kasturi di JannahNya. Menghantarkanmu pada setinggi-tingginya syurga yang sungguh itu berada di bawah telapak kakimu. Karena kau ibuku dan akan selalu menjadi ibuku.(587kata)
Aku tersenyum kala ingat pikiran dangkal itu. Dan semua itu salah. Nyatanya aku terlalu beruntung untuk mendapatkan malaikat itu. Malaikat yang hanya bergelar ibu yang senantiasa merelakan jatah jajan arisannya untuk dibawa pulang agar anaknya turut menikmati. Ibu yang cukup makan nasi dan sambal sedang ikanpun diberikan sang anak. Hingga di sepertiga malamnya tak henti menunaikan shalat malam berharap anak-anaknya menjadi insan bermartabat yang bisa menjadi tabungan amalnya kelak di akhirat.
Ibu, bagaimana engkau rela mendinginkan tubuhmu pukul satu dini hari untuk membuat susu kedelai yang paginya kau jual keliling desa dengan mengayuh sepeda butut itu? Engkau bersyukur meski laba tak seberapa, namun kau tiada berputus asa. Hari demi hari kau tekuni demi secerca nafkah untuk anakmu. Dan sampailah pada titik lelahmu engkau pun beralih bekerja di pasar tradisional. Bu, bukankah melelahkan bangun pukul 3 dini hari untuk berangkat ke tempat itu? Dengan jarak berpuluh kilometer dari rumah kau tetap mencabik sunyinya pagi, sedang anak dan bahkan tetanggamu detik itu masih pulas di balik selimutnya. Bodohnya aku bahkan merasa itu adalah hal yang wajar karena engkau ibu yang harus memenuhi kebutuhanku. Dan ternyata aku salah. Aku begitu naif untuk berleha-leha membiarkanmu berjuang sekeras itu. Bu, coba ajarkan aku bagaimana menjadi wanita hebat dalam melakukan segala pekerjaan rumah sedang saat kau suruh aku untuk membeli bawang saja aku mengeluh tiada kira.
Aku tiada pandai merangkai kata untuk mengukir dan mengingat semua kenangan bersamamu, Bu. Karena mereka terlalu banyak dan acap kali membuatku tersedu kala mengingat segala perjuanganmu. Engkau pernah bercerita, di saat aku mulai merangkak aku menumpahkan satu panci sayur sop buatanmu. Akupun dengan lucunya memakan isi sayur yang tumpah dengan lahapnya. Kau pun tak memarahiku meski jika ku ingat itu pasti merupakan hal yang membuatmu repot karena harus memasak ulang dan bahkan membersihkan sisanya. Bahkan, saat aku sudah mulai bisa berbicara dengan lugunya aku memanggil setiap bapak-bapak pedagang. Padahal, saat itu engkau tidak punya uang sedikitpun. Hingga, suatu hari engkau pernah menangis nelangsa karena di usia itu aku merengek minta dibelikan gelang hingga ayahpun rela tiada pulang dua hari hanya untuk menaruh gelang emas di pergelangan tangan kecilku. Lalu bagaimana aku nanti, Bu? sanggupkah aku menjadi wanita kuat sepertimu?
Ibu, kini tenagamu tak lagi sama seperti dulu. Cantikmu terganti dengan kerut keriput usia yang menjadi saksi bisu perjuangmu. Namun, hatimu tetap berseru bahwa aku anakmu meski kadang aku mengabaikanmu. Bibirmu tiada henti melantunkan doa kepada Sang Pencipta agar aku memiliki pendidikan yang lebih daripadamu, berprestasi, dan dapat mengangkat derajatmu. Doamu adalah ridho semesta yang tanpanya aku bukanlah apa-apa.
Jika aku tiada bisa menyentuh hati orang lain karena bodohnya aku dalam menuangkan tulisan tentangmu, maafkan aku Bu. Karena aku tahu, perasaan itu milikku. Dan hanya aku yang bisa menangis tersedu mengingat sedikit dari banyaknya kisah yang ku tulis. Semoga kasih sayang dan cinta membuatmu mencium bau kasturi di JannahNya. Menghantarkanmu pada setinggi-tingginya syurga yang sungguh itu berada di bawah telapak kakimu. Karena kau ibuku dan akan selalu menjadi ibuku.(587kata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar