Aku
menikah di usia ku yang ke 17 tahun dengan seorang pemuda yang beda usia tujuh
tahun diatasku. Kala itu kami menjalin hubungan yang dikenal dengan istilah pacaran sekitar 6 bulan, hingga bulan
berikutnya dia melamarku untuk dijadikan pendamping hidupnya. Laki-laki ini
adalah pria dewasa yang tak memiliki romansa romantis sedikitpun dan ucapkali cuek
dan supel. Inilah laki-laki yang menjadi panutan dunia akhiratku kedepannya.
Kini
aku tinggal dirumah suamiku. Rumah yang di dalamnya terdapat ibu mertua dan
adik-adik suamiku. Alasan klise lantaran kami memang belum memiliki gubuk sendiri. Satu tahun berikutnya, kami
telah dikaruniai seorang putri yang cantik jelita. Ku namai dia Laila Lifiana.
Malaikat kecil yang selama sembilan bulan ku nantikan kehadirannya. Putri kecil
yang menjadi kesayangan bapak mertuaku.
Hampir
satu dekade berlalu, kini putriku telah masuk di kelas 3 Sekolah Dasar. Dalam
masa ini, bapak mertuaku sudah berpulang kepada Sang Kuasa. Dalam masa ini pula
aku semakin memahami sosok orang-orang disekitarku. Sepuluh tahun bersama
terpatri sudah sifat-sifat suamiku. Dia yang arogan, egois, percaya dengan
hal-hal gaib dan tidak mau melakukan kewajiban ibadahnya. Berkali-kali aku berusaha
mengingatkan suamiku. Namun, selalu kuperoleh jawaban yang sama. “Ya, nanti
jika aku sudah sadar, maka aku akan beribadah sendiri”. Ketika usaha telah
kulakukan, maka tinggallah doa yang kupasrahkan. Aku tak tahu lagi bagaimana
cara menasehati suamiku selain lantunan doa di sepertiga malamku.
Namaku
Arin. Aku hidup di keluarga yang orang-orangnya memiliki karakter enggan
menunaikan ibadah wajib dalam agamanya. Tapi, ini tidak berlaku bagi ibu
mertuaku. Ibu yang senantiasa tak meninggalkan fardhu dan sunnah dalam
beragama. Suamiku merupakan anak kedua dari lima bersaudara yang terdiri dari 4
laki-laki dan 1 bungsu perempuan. Satu adik perempuan yang juga memiliki sifat
angkuh, egois dan ingin benar sendiri. Suka membicarakan semua
kekurangan-kekurangan kakak iparnya. Aku hanya diam memendam segala kesalahan
yang hadir dalam hidupku. Bagaimana mungkin ada orang seperti itu?
Ketika
usia putriku menginjak di tahun ke sembilan, aku mengalami depresi. Depresi
yang sejatinya kumpulan-kumpulan masalah yang selama satu dasawarsa ini
menggelutiku. Berawal dari masalah pekerjaan. Aku merupakan seorang wanita
karir. Sejak anakku bayi aku sudah bekerja di suatu perusahaan bonafide sebagai
seorang akuntan. Sama halnya dengan suamiku. Dia juga bekerja di perusahaan ini
sebagai seorang petugas bagian HRD. Tujuh tahun sudah kami bekerja di
perusahaan yang sama. Sebenarnya dari awal suamiku sudah mewanti-wanti bahwa
aku tidak boleh ikut membantunya mencari nafkah, cukup mengurusi dan menemani
anak dirumah. Aku memang wanita yang keras kepala. Orientasiku bekerja bukanlah
semata-mata mencari nafkah tapi lebih pada perasaan ingin membantu suami
tercinta. Tidak disangka, tahun berikutnya suamiku mengirimkan surat
pengunduran diri. Bukan atas namanya namun atas namaku. Inilah yang menjadi
awal masalahku. Aku merasa bahwa untuk menghidupi keluarga secara jangka
panjang aku haruslah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Sehingga,
apabila aku membutuhkan keperluan tidak melulu selalu bergantung pada suami.
Permasalahan
kedua. Suamiku percaya dengan hal-hal yang berbau gaib. Bukan seperti bermain
dukun atau semacamnya. Namun, dia percaya bahwa batu mustika yang dimilikinya
adalah batu yang istimewa dan dipercaya memiliki khodam. Memang batu ini adalah
peninggalan dari kakek buyutnya dan tidak diperbolehkan untuk diperjualbelikan.
Keluarga besar kami percaya apabila batu ini benar-benar di jual maka akan
memberikan bencana kepada si penjualnya. Pernah sewaktu anakku berusia lima
tahun dan ekonomi kami sedang dalam keadaan yang tidak stabil, kami hanya
mengumpat dalam hati bahwa akan menjual batu tersebut. Dan keesokan harinya
diperjalanan menuju kantor kami mengalami kecelakaan yang cukup hebat. Sejak
saat itu kami tidak ingin berfikiran aneh-aneh. Setiap bulan suamiku selalu
memberikan perawatan istimewa pada peninggalan kakek buyutnya ini. Bagi mereka
yang mendapatkan warisan batu mustika berkhodam ini wajib untuk memberikan
minyak mistik setiap pertengahan bulan. Percaya
atau tidak memang hal seperti ini konyol. Namun pada kenyataannya memang
benar-benar ada. Hingga pada suatu sore, ketika aku pulang dari kantor sifat
alamiah wanitaku muncul, aku berrfikir realistis. Bagaimana bisa kita percaya
bahwa rezeki kita dapat lancar dengan hal seperti itu? Bukankah kita hanya
boleh bergantung pada Sang Pencipta? Aku pun membuang minyak-minyak itu tanpa
sepengetahuan suamiku. Suamiku yang tahu akan hal ini bermuka padam menatapku.
Murka dengan tindakan yang telah aku lakukan. Dan tanpa sadar segala emosiku
turut memuncak. Orang lain percaya bahwa ketika aku dalam keadaan seperti ini,
ini adalah dampak dari tindakan yang telah aku lakukan. Membuang makanan
“khodam-khodam” itu.
Sejak
kecil suamiku memanglah laki-laki yang enggan melakukan kewajiban ibadahnya. Baik
fardhu dan sunnah. Kewajiban setiap hari jumat bagi laki-laki pun tak pernah
dia tunaikan. Setiap bulan Ramadhan tiba ia selalu enggan melakukan kewajiban
fardhu itu. Ya, puasa wajib. Pernah suatu ketika aku bertengkar dengannya
terkait hal ini. Bukan bermaksut menggurui atau berlagak paham agama. Bukankah
setiap isteri selalu mendambakan suami yang bisa membimbingnya. Tidak hanya membimbing
dalam mendapatkan kebahagiaan di dunia saja namun juga berorientasi pada
akhirat. Masa setelah dunia ini tiada. Namun, jawabannya selalu sama. “Nanti,
jika hidayah sudah menghampiriku aku pastilah menunaikan kewajibanku tanpa
engkau suruh”. Lalu bagaimana lagi ketika usahaku tak tertuai. Nasehatku tak
diindahkan. Dan hanya doa kepada Sang Pencipta amunisi terakhirku.
Suatu
ketika aku dan suami bertengkar hebat. Ku banting piring-piring yang bertengger
cantik di rak dapur hingga pecah menjadi berkeping-keping. Ku obrak-abrik
segala perabot rumahku hingga tak berbentuk dan berdaya guna. Aku menangis dan
meluapkan segala apa yang sudah terpatri rapi disetiap jengkal memori otakku.
Dia berusaha melerai dan menenangkanku. Nihil. Aku semakin diluar batas. Hingga
suami menyekapku di dalam kamar. Aku marah, aku kecewa, dan aku seolah benci
melihat sosok suamiku. Lalu bagaimana keadaan putriku? Ya, dia menangis. Bocah
kecil dengan pemikiran alit yang hanya bisa menangis melihat kejadian yang tak
bisa dicerna anak seusianya.
Pikiranku
kacau dan mudah marah ketika oranglain berusaha menenangkanku. Bagaimana tidak?
Setiap kali aku bertemu dengan orang yang kutemui, mereka justru menyulut api
amarah dalam hatiku. Mereka bilang aku bukanlah aku, semua yang terjadi padaku
kali ini bukanlah cermin pribadiku. Begitu mereka berfikir. Dan aku seratus
persen dalam keadaan sadar, namun orang yang melihatku akan berfikir bahwa aku
sudah tidak waras. Aku dianggap gila, bahkan oleh imamku sendiri.
Selang
dua bulan karena aku tiada kunjung tenang akhirnya suami memasukkanku dalam
sebuah yayasan. Dalam keadaan baru sadar aku sudah berada di suatu yayasan di
kota yang jauh dari rumah dan anakku. Tempat ini berlokasi dekat dengan
pemukiman warga dan lahan persawahan. Bukan tempat orang yang akan diajarkan
bagaimana cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Namun, tempat yang dihuni
oleh beratus-ratus orang tidak waras dari berbagai pelosok nusantara. Bukan
rumah sakit jiwa tapi orang-orang menyebutnya Griya Cinta Kasih. Sepotong
memori tiba-tiba berputar dipikiranku. Saat itu aku sedang berusaha melarikan
diri dari rumah dengan membawa sebilah pisau. Kulihat orang-orang berbaju putih
tiba-tiba muncul dari sebuah mobil dan berusaha menangkapku. Aku terlalu lemah
untuk membebaskan dari mereka dan satu benda kecil tajam menancap di leherku,
dan tiba-tiba gelap. Sebelum aku kehilangan kesadaranku, kulihat samar sosok
suamiku yang berlari menuju arahku.
Esok
hari aku terbangun. Keadaan yang
mengenaskan ketika kulihat kaki dan kedua tanganku terborgol dengan rantai besi
berkarat. Buliran air bening tiba-tiba tak sanggup terbendung di kelopak
mataku. Bagaimana bisa suami yang menjadi pemilik tulang rusuk ini
memperlakukanku dan tega menaruh separuh belahan jiwanya di tempat seperti ini.
Aku tidak gila! Aku sadar! Teriakku. Tiba-tiba ada seseorang menghampiriku. Ia
membawa segelas air yang tiba-tiba disiramkan ke wajahku. Aku berusaha
memberontak, namun nihil semakin aku bergerak semakin tangan dan kakiku
berdarah karena tergores rantai besi itu.
Buliran
air mata tak sanggup ku bendung. Setiap datang malam aku hanya bisa melihat
malam bertabur bintang. Aku kedinginan. Dan aku di tempat seperti ini tanpa
tahu bagaimana keadaan putriku. Sampai suatu malam aku benar-benar meluapkan
segala amarahku hingga aku kalut dan berteriak-teriak. Aku sadar tapi seolah
segala tekanan setiap malam selalu menghampiriku. Aku ingin keluar dari tempat
durjana ini. Disini bukan tempatku. Aku tidak seperti mereka yang benar-benar
sakit jiwa. Namun, petugas disini tak pernah sedikitpun mendengarkan keluh
kesahku. Mereka tega memangkas rambut panjangku hingga tak menyisakan sehelai
rambutpun. Aku jadi seperti orang gila disini. Aku ingin pulang. Aku merindukan
putriku. Apakah salah jika aku menyalahkan takdir?
Pernah
di suatu malam kedua tangan dan kakiku dirantai agar aku tidak bertindak
semauku. Aku berteriak dan aku menangis. Bagaimana mungkin suamiku tega
membiarkanku diperlakukan seperti ini. Ya Allah ampuni hambamu ini. Ampuni
segala dosa-dosaku. Aku benar-benar dalam keadaan sadar dan ini bukan tempatku.
Mengapa setiap orang di dunia ini tidak bisa memahami masalahku sedikit saja.
Lalu aku dan orang-orang sakit jiwa disekelilingku dipaksa petugas untuk keluar
dari yayasan. Kami digiring untuk berjalan cukup jauh dari lokasi yayasan.
Hingga sampailah kami di sebuah sungai berair keruh. Apa kalian bisa
membayangkan apa yang mereka lakukan pada kami? Tengah malam ini mereka memaksa
kami masuk ke dalam air sungai itu. Dapatkah kalian bayangkan betapa dinginnya
air sungai kala itu? Kami ditentang, dipukul dan bahkan disiksa layaknya binatang.
Kami dibenamkan ke dalam air keruh itu. Kaki-kaki mereka dengan kasar
membenamkan kepala kami ke dalam sungai itu. Apakah seperti ini perlakuan
yayasan yang dikenal dapat menyembuhkan mereka yang memiliki gangguan jiwa.
Dengan metode seperti ini? tidak manusiawi sama sekali. Bukankah hal ini
termasuk pelanggaran HAM mutlak? Aku hanya bisa menangis meratapi segala
kejadian yang beberapa bulan menimpaku ini. Ingin aku menyerah dan mengakhiri hidupku
sekarang juga. Namun, aku tahu. Aku harus sembuh karena aku memiliki putri yang
harus aku besarkan. Putri yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Sungguh, jika bukan karena dia aku tidak akan bertahan setegar ini.
Mentari
pagi itu seolah sendu melihat anak manusia yang pasrah menjalani hidupnya. Aku
diam dan tidak ingin melawan keadaan. Aku tahu semakin aku bersikap memberontak
semakin banyak pula siksaan yang mereka berikan. Ingin rasanya aku menuntut
mereka atas apa yang telah dilakukan padaku, tapi apalah dayaku. Aku tidak akan
pernah bisa pergi dari tempat ini jika suamiku tidak mencabut surat
pernyataannya.
Kesedihanku
bertambah kala kulihat orang-orang di sekelilingku. Seorang kakek tua yang
ditinggalkan keluarganya dan tiga tahun belum pernah dibesuk oleh keluarganya.
Dan ada seorang laki-laki muda yang dulu merupakan seorang yang bekerja di
bidang perkapalan kini ditinggalkan keluarganya karena penyakit jiwa yang
menimpanya. Dalam keadaan seperti ini, aku harus banyak bersyukur. Aku berusaha
mensyukurinya dengan membantu mengurus mereka. Mengingat perkembanganku yang
semakin hari kian membaik. Akupun kini sudah bebas dari kurungan. Petugas GCK
pun semakin ramah denganku karena mereka senang melihat perkembanganku. Aku
kini turut membantu di GCK mulai dari mencuci baju dan bersih-bersih. Pernah
aku mengobrol dengan salahsatu petugas yayasan itu. dia bertanya terkait segala
sesuatu yang telah mereka lakukan terhadapku. Mereka heran bagaimana bisa aku
mengingat segala bentuk siksaan mereka sedang orang yang benar-benar gila tidak
pernah ingat dan tidak pernah merasa apa yang telah terjadi padanya. Alasannya
satu karena memang aku TIDAK GILA. Aku ingin mengumpat bahwa suamiku yang
benar-benar gila karena telah memasukkan istrinya di tempat seperti ini. Tapi
apa gunanya? Justru amarah hanya akan membuang tenaga kan? Mungkin ini
memanglah takdir Tuhan yang diberikan padaku agar aku mampu menghadapi kerasnya
hidup.
Empat
bulan aku berada di Griya Cinta Kasih yang di dalamnya tidak sesuai dengan nama
instansinya. Akupun pulang karena aku sudah lebih tenang dan mampu mengontrol
emosi. Ku dapati muka lelah suamiku, ia tersenyum lega. Akupun menatapnya
sendu, tanpa tahu apakah aku bisa memaafkannya? Laila Lifiana memelukku dengan
erat. Ku tatap wajah cantik putriku, ia menangis tersedu. “sudahlah nak, ibu
tidak apa-apa. Ibu sudah sehat.. kelak jadilah wanita tegar. Jangan sampai kau
mengalami nasib seperti ibumu. Cukup ibu yang merasakannya. Jadilah, putri yang
dapat membanggakan kedua orangtuamu. Putri yang dapat mengangkat derajat
orangtuanya dan mampu menunjukkan pada dunia bahwa dengan memiliki ibu
sepertiku kau bisa sukses” putriku terisak. Dia masih sembilan tahun dan dia
harus melewati masalah ini layaknya orang dewasa seusianya. Ku alihkan
perhatianku pada suamiku. Kucium punggung tanggannya, ku kecup kedua pipinya.
Aku membencinya dalam lubuk hatiku, namun aku tahu dia adalah orang yang
kucintai pula, pemilik tulang rusukku. Bagaimanapun sifatnya dia adalah ayah
dari anakku, suamiku.
Sepertiga
malamku ini, dirumah ku yang sederhana ini, aku berdoa.
Ya allah terimakasih sudah menguatkan aku dalam
melalui cobaan ini.
Andaikan engkau tidak memberikanku kekuatan,
pastilah aku sudah mati di yayasan itu.
Engkau buat aku ingat, bagaimana wajah putriku
apabila aku menyerah dengan masalah ini.
Bagaimana wajah sedih putriku apabila ditinggal
ibunya.
Aku tahu Ya Allah.
Bahwa Engkau tidak akan memberikan cobaan diluar
batas kemampuan hambanya.
Berikan aku kesabaran dalam memahami setiap sifat
dan sikap suami maupun keluarga suamiku.
Aku tahu, jika salah satu diantara kami tidak ada
yang mengalah dalam beragumen pastilah keluarga kami tidak akan utuh.
Aku berdoa padamu, Ya Allah.
Jika hidup adalah pilihan maka izinkan aku hidup
dengan baik.
Izinkan anakku menjadi orang yang berhasil menggapai
mimpinya.
Meski kedua orangtuanya tak berpendidikan tinggi,
namun jadikan dia anak yang dapat membanggakan orangtuanya, mengharumkan nama
orangtuanya.
Jangan biarkan putriku kelak mengalami nasib seperti
ibunya, cukup aku yang merasakan. Anakku jangan.
Aku
memanglah gadis yang dilahirkan di keluarga yang serba kekurangan. Hidup dengan
lima bersaudari membuat orangtuaku kesulitan menyekolahkan kami. Bagaimana bisa
sekolah? Kalau untuk makan saja orangtuaku masih meraba apa yang digunakan
untuk membeli beras. Sejak kecil aku diajarkan untuk mandiri dan sekolahpun
dengan biaya sendiri. Dari membantu tetangga mencuci piring, disuruh beli ini
itu, bahkan menjadi tukang pijat. Semua itu kulakukan untuk maraup sedikit
nafkah agar aku bisa membeli seragam untuk sekolahku. Karena memang orangtuaku
bukanlah orang yang peka terhadap pendidikan. Aku hanya menimba ilmu sampai
lulus SD saja, setelah itu akupun mulai bekerja memenuhi kebutuhan hidupku
sendiri. Dan sekarang aku sudah menjadi seorang ibu, seorang ibu yang tidak
akan pernah rela anaknya menjadi seperti dirinya. Panji-panji tresnaku yang harus
kudidik sedemikian rupa agar menjadi cendekiawan bagi bangsa ini. Dan sekali
lagi aku berdoa, Sukseskan putriku, Ya Allah.
(Alhamdulilah, cerpen ini menjadi salah satu pemenang kontribusi kategori lomba cerpen di Universitas Islam Negeri Jakarta 2017)
Saran dan kritik yang membangun buat ika sangat disarankan bagi teman-teman pembaca blog ini :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar