Senin, 28 Agustus 2017

Panji-Panji Tresna

Aku menikah di usia ku yang ke 17 tahun dengan seorang pemuda yang beda usia tujuh tahun diatasku. Kala itu kami menjalin hubungan yang dikenal dengan istilah pacaran sekitar 6 bulan, hingga bulan berikutnya dia melamarku untuk dijadikan pendamping hidupnya. Laki-laki ini adalah pria dewasa yang tak memiliki romansa romantis sedikitpun dan ucapkali cuek dan supel. Inilah laki-laki yang menjadi panutan dunia akhiratku kedepannya.
Kini aku tinggal dirumah suamiku. Rumah yang di dalamnya terdapat ibu mertua dan adik-adik suamiku. Alasan klise lantaran kami memang belum memiliki gubuk sendiri. Satu tahun berikutnya, kami telah dikaruniai seorang putri yang cantik jelita. Ku namai dia Laila Lifiana. Malaikat kecil yang selama sembilan bulan ku nantikan kehadirannya. Putri kecil yang menjadi kesayangan bapak mertuaku.

Hampir satu dekade berlalu, kini putriku telah masuk di kelas 3 Sekolah Dasar. Dalam masa ini, bapak mertuaku sudah berpulang kepada Sang Kuasa. Dalam masa ini pula aku semakin memahami sosok orang-orang disekitarku. Sepuluh tahun bersama terpatri sudah sifat-sifat suamiku. Dia yang arogan, egois, percaya dengan hal-hal gaib dan tidak mau melakukan kewajiban ibadahnya. Berkali-kali aku berusaha mengingatkan suamiku. Namun, selalu kuperoleh jawaban yang sama. “Ya, nanti jika aku sudah sadar, maka aku akan beribadah sendiri”. Ketika usaha telah kulakukan, maka tinggallah doa yang kupasrahkan. Aku tak tahu lagi bagaimana cara menasehati suamiku selain lantunan doa di sepertiga malamku.
Namaku Arin. Aku hidup di keluarga yang orang-orangnya memiliki karakter enggan menunaikan ibadah wajib dalam agamanya. Tapi, ini tidak berlaku bagi ibu mertuaku. Ibu yang senantiasa tak meninggalkan fardhu dan sunnah dalam beragama. Suamiku merupakan anak kedua dari lima bersaudara yang terdiri dari 4 laki-laki dan 1 bungsu perempuan. Satu adik perempuan yang juga memiliki sifat angkuh, egois dan ingin benar sendiri. Suka membicarakan semua kekurangan-kekurangan kakak iparnya. Aku hanya diam memendam segala kesalahan yang hadir dalam hidupku. Bagaimana mungkin ada orang seperti itu?
Ketika usia putriku menginjak di tahun ke sembilan, aku mengalami depresi. Depresi yang sejatinya kumpulan-kumpulan masalah yang selama satu dasawarsa ini menggelutiku. Berawal dari masalah pekerjaan. Aku merupakan seorang wanita karir. Sejak anakku bayi aku sudah bekerja di suatu perusahaan bonafide sebagai seorang akuntan. Sama halnya dengan suamiku. Dia juga bekerja di perusahaan ini sebagai seorang petugas bagian HRD. Tujuh tahun sudah kami bekerja di perusahaan yang sama. Sebenarnya dari awal suamiku sudah mewanti-wanti bahwa aku tidak boleh ikut membantunya mencari nafkah, cukup mengurusi dan menemani anak dirumah. Aku memang wanita yang keras kepala. Orientasiku bekerja bukanlah semata-mata mencari nafkah tapi lebih pada perasaan ingin membantu suami tercinta. Tidak disangka, tahun berikutnya suamiku mengirimkan surat pengunduran diri. Bukan atas namanya namun atas namaku. Inilah yang menjadi awal masalahku. Aku merasa bahwa untuk menghidupi keluarga secara jangka panjang aku haruslah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Sehingga, apabila aku membutuhkan keperluan tidak melulu selalu bergantung pada suami.
Permasalahan kedua. Suamiku percaya dengan hal-hal yang berbau gaib. Bukan seperti bermain dukun atau semacamnya. Namun, dia percaya bahwa batu mustika yang dimilikinya adalah batu yang istimewa dan dipercaya memiliki khodam. Memang batu ini adalah peninggalan dari kakek buyutnya dan tidak diperbolehkan untuk diperjualbelikan. Keluarga besar kami percaya apabila batu ini benar-benar di jual maka akan memberikan bencana kepada si penjualnya. Pernah sewaktu anakku berusia lima tahun dan ekonomi kami sedang dalam keadaan yang tidak stabil, kami hanya mengumpat dalam hati bahwa akan menjual batu tersebut. Dan keesokan harinya diperjalanan menuju kantor kami mengalami kecelakaan yang cukup hebat. Sejak saat itu kami tidak ingin berfikiran aneh-aneh. Setiap bulan suamiku selalu memberikan perawatan istimewa pada peninggalan kakek buyutnya ini. Bagi mereka yang mendapatkan warisan batu mustika berkhodam ini wajib untuk memberikan minyak mistik setiap pertengahan bulan.  Percaya atau tidak memang hal seperti ini konyol. Namun pada kenyataannya memang benar-benar ada. Hingga pada suatu sore, ketika aku pulang dari kantor sifat alamiah wanitaku muncul, aku berrfikir realistis. Bagaimana bisa kita percaya bahwa rezeki kita dapat lancar dengan hal seperti itu? Bukankah kita hanya boleh bergantung pada Sang Pencipta? Aku pun membuang minyak-minyak itu tanpa sepengetahuan suamiku. Suamiku yang tahu akan hal ini bermuka padam menatapku. Murka dengan tindakan yang telah aku lakukan. Dan tanpa sadar segala emosiku turut memuncak. Orang lain percaya bahwa ketika aku dalam keadaan seperti ini, ini adalah dampak dari tindakan yang telah aku lakukan. Membuang makanan “khodam-khodam” itu.
Sejak kecil suamiku memanglah laki-laki yang enggan melakukan kewajiban ibadahnya. Baik fardhu dan sunnah. Kewajiban setiap hari jumat bagi laki-laki pun tak pernah dia tunaikan. Setiap bulan Ramadhan tiba ia selalu enggan melakukan kewajiban fardhu itu. Ya, puasa wajib. Pernah suatu ketika aku bertengkar dengannya terkait hal ini. Bukan bermaksut menggurui atau berlagak paham agama. Bukankah setiap isteri selalu mendambakan suami yang bisa membimbingnya. Tidak hanya membimbing dalam mendapatkan kebahagiaan di dunia saja namun juga berorientasi pada akhirat. Masa setelah dunia ini tiada. Namun, jawabannya selalu sama. “Nanti, jika hidayah sudah menghampiriku aku pastilah menunaikan kewajibanku tanpa engkau suruh”. Lalu bagaimana lagi ketika usahaku tak tertuai. Nasehatku tak diindahkan. Dan hanya doa kepada Sang Pencipta amunisi terakhirku.
Suatu ketika aku dan suami bertengkar hebat. Ku banting piring-piring yang bertengger cantik di rak dapur hingga pecah menjadi berkeping-keping. Ku obrak-abrik segala perabot rumahku hingga tak berbentuk dan berdaya guna. Aku menangis dan meluapkan segala apa yang sudah terpatri rapi disetiap jengkal memori otakku. Dia berusaha melerai dan menenangkanku. Nihil. Aku semakin diluar batas. Hingga suami menyekapku di dalam kamar. Aku marah, aku kecewa, dan aku seolah benci melihat sosok suamiku. Lalu bagaimana keadaan putriku? Ya, dia menangis. Bocah kecil dengan pemikiran alit yang hanya bisa menangis melihat kejadian yang tak bisa dicerna anak seusianya.
Pikiranku kacau dan mudah marah ketika oranglain berusaha menenangkanku. Bagaimana tidak? Setiap kali aku bertemu dengan orang yang kutemui, mereka justru menyulut api amarah dalam hatiku. Mereka bilang aku bukanlah aku, semua yang terjadi padaku kali ini bukanlah cermin pribadiku. Begitu mereka berfikir. Dan aku seratus persen dalam keadaan sadar, namun orang yang melihatku akan berfikir bahwa aku sudah tidak waras. Aku dianggap gila, bahkan oleh imamku sendiri.
Selang dua bulan karena aku tiada kunjung tenang akhirnya suami memasukkanku dalam sebuah yayasan. Dalam keadaan baru sadar aku sudah berada di suatu yayasan di kota yang jauh dari rumah dan anakku. Tempat ini berlokasi dekat dengan pemukiman warga dan lahan persawahan. Bukan tempat orang yang akan diajarkan bagaimana cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Namun, tempat yang dihuni oleh beratus-ratus orang tidak waras dari berbagai pelosok nusantara. Bukan rumah sakit jiwa tapi orang-orang menyebutnya Griya Cinta Kasih. Sepotong memori tiba-tiba berputar dipikiranku. Saat itu aku sedang berusaha melarikan diri dari rumah dengan membawa sebilah pisau. Kulihat orang-orang berbaju putih tiba-tiba muncul dari sebuah mobil dan berusaha menangkapku. Aku terlalu lemah untuk membebaskan dari mereka dan satu benda kecil tajam menancap di leherku, dan tiba-tiba gelap. Sebelum aku kehilangan kesadaranku, kulihat samar sosok suamiku yang berlari menuju arahku.
Esok hari  aku terbangun. Keadaan yang mengenaskan ketika kulihat kaki dan kedua tanganku terborgol dengan rantai besi berkarat. Buliran air bening tiba-tiba tak sanggup terbendung di kelopak mataku. Bagaimana bisa suami yang menjadi pemilik tulang rusuk ini memperlakukanku dan tega menaruh separuh belahan jiwanya di tempat seperti ini. Aku tidak gila! Aku sadar! Teriakku. Tiba-tiba ada seseorang menghampiriku. Ia membawa segelas air yang tiba-tiba disiramkan ke wajahku. Aku berusaha memberontak, namun nihil semakin aku bergerak semakin tangan dan kakiku berdarah karena tergores rantai besi itu.
Buliran air mata tak sanggup ku bendung. Setiap datang malam aku hanya bisa melihat malam bertabur bintang. Aku kedinginan. Dan aku di tempat seperti ini tanpa tahu bagaimana keadaan putriku. Sampai suatu malam aku benar-benar meluapkan segala amarahku hingga aku kalut dan berteriak-teriak. Aku sadar tapi seolah segala tekanan setiap malam selalu menghampiriku. Aku ingin keluar dari tempat durjana ini. Disini bukan tempatku. Aku tidak seperti mereka yang benar-benar sakit jiwa. Namun, petugas disini tak pernah sedikitpun mendengarkan keluh kesahku. Mereka tega memangkas rambut panjangku hingga tak menyisakan sehelai rambutpun. Aku jadi seperti orang gila disini. Aku ingin pulang. Aku merindukan putriku. Apakah salah jika aku menyalahkan takdir?
Pernah di suatu malam kedua tangan dan kakiku dirantai agar aku tidak bertindak semauku. Aku berteriak dan aku menangis. Bagaimana mungkin suamiku tega membiarkanku diperlakukan seperti ini. Ya Allah ampuni hambamu ini. Ampuni segala dosa-dosaku. Aku benar-benar dalam keadaan sadar dan ini bukan tempatku. Mengapa setiap orang di dunia ini tidak bisa memahami masalahku sedikit saja. Lalu aku dan orang-orang sakit jiwa disekelilingku dipaksa petugas untuk keluar dari yayasan. Kami digiring untuk berjalan cukup jauh dari lokasi yayasan. Hingga sampailah kami di sebuah sungai berair keruh. Apa kalian bisa membayangkan apa yang mereka lakukan pada kami? Tengah malam ini mereka memaksa kami masuk ke dalam air sungai itu. Dapatkah kalian bayangkan betapa dinginnya air sungai kala itu? Kami ditentang, dipukul dan bahkan disiksa layaknya binatang. Kami dibenamkan ke dalam air keruh itu. Kaki-kaki mereka dengan kasar membenamkan kepala kami ke dalam sungai itu. Apakah seperti ini perlakuan yayasan yang dikenal dapat menyembuhkan mereka yang memiliki gangguan jiwa. Dengan metode seperti ini? tidak manusiawi sama sekali. Bukankah hal ini termasuk pelanggaran HAM mutlak? Aku hanya bisa menangis meratapi segala kejadian yang beberapa bulan menimpaku ini. Ingin aku menyerah dan mengakhiri hidupku sekarang juga. Namun, aku tahu. Aku harus sembuh karena aku memiliki putri yang harus aku besarkan. Putri yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Sungguh, jika bukan karena dia aku tidak akan bertahan setegar ini.
Mentari pagi itu seolah sendu melihat anak manusia yang pasrah menjalani hidupnya. Aku diam dan tidak ingin melawan keadaan. Aku tahu semakin aku bersikap memberontak semakin banyak pula siksaan yang mereka berikan. Ingin rasanya aku menuntut mereka atas apa yang telah dilakukan padaku, tapi apalah dayaku. Aku tidak akan pernah bisa pergi dari tempat ini jika suamiku tidak mencabut surat pernyataannya.
Kesedihanku bertambah kala kulihat orang-orang di sekelilingku. Seorang kakek tua yang ditinggalkan keluarganya dan tiga tahun belum pernah dibesuk oleh keluarganya. Dan ada seorang laki-laki muda yang dulu merupakan seorang yang bekerja di bidang perkapalan kini ditinggalkan keluarganya karena penyakit jiwa yang menimpanya. Dalam keadaan seperti ini, aku harus banyak bersyukur. Aku berusaha mensyukurinya dengan membantu mengurus mereka. Mengingat perkembanganku yang semakin hari kian membaik. Akupun kini sudah bebas dari kurungan. Petugas GCK pun semakin ramah denganku karena mereka senang melihat perkembanganku. Aku kini turut membantu di GCK mulai dari mencuci baju dan bersih-bersih. Pernah aku mengobrol dengan salahsatu petugas yayasan itu. dia bertanya terkait segala sesuatu yang telah mereka lakukan terhadapku. Mereka heran bagaimana bisa aku mengingat segala bentuk siksaan mereka sedang orang yang benar-benar gila tidak pernah ingat dan tidak pernah merasa apa yang telah terjadi padanya. Alasannya satu karena memang aku TIDAK GILA. Aku ingin mengumpat bahwa suamiku yang benar-benar gila karena telah memasukkan istrinya di tempat seperti ini. Tapi apa gunanya? Justru amarah hanya akan membuang tenaga kan? Mungkin ini memanglah takdir Tuhan yang diberikan padaku agar aku mampu menghadapi kerasnya hidup.
Empat bulan aku berada di Griya Cinta Kasih yang di dalamnya tidak sesuai dengan nama instansinya. Akupun pulang karena aku sudah lebih tenang dan mampu mengontrol emosi. Ku dapati muka lelah suamiku, ia tersenyum lega. Akupun menatapnya sendu, tanpa tahu apakah aku bisa memaafkannya? Laila Lifiana memelukku dengan erat. Ku tatap wajah cantik putriku, ia menangis tersedu. “sudahlah nak, ibu tidak apa-apa. Ibu sudah sehat.. kelak jadilah wanita tegar. Jangan sampai kau mengalami nasib seperti ibumu. Cukup ibu yang merasakannya. Jadilah, putri yang dapat membanggakan kedua orangtuamu. Putri yang dapat mengangkat derajat orangtuanya dan mampu menunjukkan pada dunia bahwa dengan memiliki ibu sepertiku kau bisa sukses” putriku terisak. Dia masih sembilan tahun dan dia harus melewati masalah ini layaknya orang dewasa seusianya. Ku alihkan perhatianku pada suamiku. Kucium punggung tanggannya, ku kecup kedua pipinya. Aku membencinya dalam lubuk hatiku, namun aku tahu dia adalah orang yang kucintai pula, pemilik tulang rusukku. Bagaimanapun sifatnya dia adalah ayah dari anakku, suamiku.
Sepertiga malamku ini, dirumah ku yang sederhana ini, aku berdoa.
Ya allah terimakasih sudah menguatkan aku dalam melalui cobaan ini.
Andaikan engkau tidak memberikanku kekuatan, pastilah aku sudah mati di yayasan itu.
Engkau buat aku ingat, bagaimana wajah putriku apabila aku menyerah dengan masalah ini.
Bagaimana wajah sedih putriku apabila ditinggal ibunya.
Aku tahu Ya Allah.
Bahwa Engkau tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya.
Berikan aku kesabaran dalam memahami setiap sifat dan sikap suami maupun keluarga suamiku.
Aku tahu, jika salah satu diantara kami tidak ada yang mengalah dalam beragumen pastilah keluarga kami tidak akan utuh.
Aku berdoa padamu, Ya Allah.
Jika hidup adalah pilihan maka izinkan aku hidup dengan baik.
Izinkan anakku menjadi orang yang berhasil menggapai mimpinya.
Meski kedua orangtuanya tak berpendidikan tinggi, namun jadikan dia anak yang dapat membanggakan orangtuanya, mengharumkan nama orangtuanya.
Jangan biarkan putriku kelak mengalami nasib seperti ibunya, cukup aku yang merasakan. Anakku jangan.

Aku memanglah gadis yang dilahirkan di keluarga yang serba kekurangan. Hidup dengan lima bersaudari membuat orangtuaku kesulitan menyekolahkan kami. Bagaimana bisa sekolah? Kalau untuk makan saja orangtuaku masih meraba apa yang digunakan untuk membeli beras. Sejak kecil aku diajarkan untuk mandiri dan sekolahpun dengan biaya sendiri. Dari membantu tetangga mencuci piring, disuruh beli ini itu, bahkan menjadi tukang pijat. Semua itu kulakukan untuk maraup sedikit nafkah agar aku bisa membeli seragam untuk sekolahku. Karena memang orangtuaku bukanlah orang yang peka terhadap pendidikan. Aku hanya menimba ilmu sampai lulus SD saja, setelah itu akupun mulai bekerja memenuhi kebutuhan hidupku sendiri. Dan sekarang aku sudah menjadi seorang ibu, seorang ibu yang tidak akan pernah rela anaknya menjadi seperti dirinya. Panji-panji tresnaku yang harus kudidik sedemikian rupa agar menjadi cendekiawan bagi bangsa ini. Dan sekali lagi aku berdoa, Sukseskan putriku, Ya Allah. 

(Alhamdulilah, cerpen ini menjadi salah satu pemenang kontribusi kategori lomba cerpen di Universitas Islam Negeri Jakarta 2017)
Saran dan kritik yang membangun buat ika sangat disarankan bagi teman-teman pembaca blog ini :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar